Oleh: Fadh Ahmad Arifan
SUDAH lama di berbagai kampus bergengsi di Negara Amerika, terdapat fakultas Studi Agama (religious studies). Di fakultas itu biasanya disediakan 6 jurusan: Yahudi, Budha, Kristen, Hindu, studi islam dan filsafat agama.
Ketika melihat daftar dosen-dosen yang
tercantum di website kampus, saya amati dosen untuk mata kuliah
Yudaisme, Sejarah holocaust, filsafat yahudi dan studi naskah Talmud di
Stanford, Yale, Harvard, California, Duke, dan Universitas Chicago, 100%
diajar oleh Orang Yahudi sendiri. Tidak ada orang non Yahudi yang
dibiarkan mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan agama mereka.
Ambil contoh, seorang dosen Wanita di
Universitas Stanford bernama Charollete Elisheva fonrobert, Elisheva ini
Profesor yang ahli Talmud (mungkin hafal diluar kepala). Selain itu dia
dosen tamu di Universitas Karl-Franzens, Austria. Satu lagi, menguasai 6
bahasa asing: Ibrani, Yunani, Latin, Inggris, Jerman dan Prancis.
Benar-benar bukan sembarang dosen yang diperbolehkan mengajar di sana.
Adapun Studi Islam (Islamic studies),
sejak kemunculan Orientalis, agama ini diteliti habis-habisan oleh
sarjana Non Muslim. Tentu saja dengan metodologi andalan mereka seperti
Filologi, Kritik Sejarah, Fenemonelogi, dan Hermeneutika. Setelah dirasa
mereka “pakar” di Studi Islam, dengan disokong dana yang besar, mereka
memberanikan diri membuka jurusan Studi islam.
Mereka melakukan publikasi besar besaran
baik dalam bentuk buku, majalah, ensiklopedi hingga jurnal ilmiah.
Selain publikasi, mereka menawarkan beasiswa, pertukaran mahasiswa
hingga suplai dana untuk pelatihan dosen.
Celakanya, generasi muda Islam yang telah menjadi sarjana, sebagian dari mereka kepincut belajar Islam kepada Orientalis, dengan memmunculkan adagium, “Belajar Islam di Barat itu ilmiah banget, sedangkan di Timur tengah ketinggalan zaman karena berbasis hafalan“. Padahal adagium ini tidak benar dan menyesatkan.
Sebaliknya, di Timur Tengah studi Islam hanya diajarkan oleh orang Islam sendiri.
Sebagaimana diawal tulisan ini bagaimana mata kuliah Yudaisme diajarkan oleh orang Yahudi sendiri.
Disamping kepentingan ilmiah, studi Islam
di Timur Tengah orientasinya bukan sebatas keilmuan saja, tetapi juga
diamalkan serta didakwahkan kepada orang lain. Inilah yang barangkali
belum ada di kampus-kampus bergengsi di Barat.
Studi Islam dengan dibarengi amal dan dakwah akan menjadikan ilmu yang didapat menjadi berkah dan mengalir pahalanya.
Generasi muda Islam yang bangga kuliah di
Barat itu seharusnya perlu kita tanyai, ”Apakah setelah lulus, Anda
menjadi kritis seperti Dr Rasidji ataukah menjadi seperti Cak Nur dan
Harun Nasution?”
Jika tidak, buat apa jauh-jauh belajar Islam ke Barat, bila hasilnya menjadi penghancur kemuliaan agama ini?
Idealnya kalau kuliah ke Barat harusnya
belajar sains seperti yang dilakukan Prof Dr BJ Habibie. Ia kuliah ke
Jerman untuk mendalami ilmu Aeronautika sampai jenjang doktoral.
Adalah hal lucu, belajar agama Islam
kepada non Muslim, yang sejatinya ia tak meyakini Islam dan hanya
menganggap Islam sebatas gejala sosial, bukan agama wahyu yang bersumber
dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Mudah-mudahan ini menjadi renungan kita
bersama, supaya di masa depan, tidak terulang lagi kebiasaan mengirim
sarjana Muslim untuk belajar Islam kepada non Muslim.*
Penulis adalah Alumni MAN 3 Malang dan kini Dosen STAI al-Yasini, Kab Pasuruan, Jawa Timur